Purnama`s virtual notes

April 14, 2009

Masjid Fukuoka: Masjid pertama di Pulau Kyushu Jepang

Filed under: Uncategorized — purnamabs @ 4:42 pm

peresmian-masjid-fukuoka2Ada perasaan haru ketika langkah kaki memasuki ruangan masjid Fukuoka. Perasaan bahagia dan haru bercampur menjadi satu karena pada hari itu, Jumat 20 Maret 2009, adalah hari pertama kami, para muslim yang tinggal di Fukuoka Jepang dan sekitarnya, menyelenggarakn sholat jumat. Itu adalah sholat jumat pertama dalam sejarah Jepang, sebuah sholat jumat pertama yang diselenggarakan di Pulau Kyushu di sebuah masjid. Masjid pertama di pulau Kyushu, sebuah pulau terbesar ketiga yang terletak di bagian selatan Jepang.

Begitu memasuki masjid, segera kami melakukan sholat sunah dua rokaat. Sesaat kemudian, khotbah jumat dimulai, di awali oleh adzan yang dikumandangkan oleh orang Jepang yang telah menjadi muallaf. Khutbah yang dibawakan oleh Br. Ahmed Maeno, seorang muallaf Jepang, disampaikan dalam bahasa Arab, Jepang dan Inggris, dengan topik tentang fungsi masjid dan islam di Jepang.

Berdirinya masjid yang telah didambakan oleh muslim di Fukuoka selama bertahun-tahun ini memang melalui perjalanan yang panjang. Sejarah berdirinya masjid ini diawali oleh keinginan yang telah bulat dan mengkristal pada tahun 1998 yang kemudian secara serius dituangkan dalam sebuah rencana strategis pembangunan masjid. Ide ini kemudian bergulir dan tahapan proyek pembangunan masjidpun dimulai. Berbagai pihak telah banyak berkontribusi untuk berdirinya tempat ibadah ini, mulai dari mahasiswa muslim di Fukuoka, masyarakat muslim di Fukuoka dan kota-kota lain di Jepang, muslim di luar Jepang, dan negara Uni Emirat Arab, dan berbagai pihak lain.

Setelah sebelas tahun menunggu, akhirnya pada tanggal 12 April 2009 Masjid Fukuoka dan Al Nour Islamic Culture Center secara resmi diresmikan. Acara peresmian ini dihadiri oleh pihak-pihak yang telah banyak berkontribusi dalam pembangunan masjid ini, seperti Perwakilan Islamic Culture Center of Kyushu dan Duta besar Uni Emirat Arab. Acara itu juga menghadirkan pembicara dari Asosiasi Muslim Jepang yang membawakan materi tentang sejarah islam di Jepang, Br. Selim Gules yang menyampaikan tentang pengantar Islam, dan Profesor Hirofumi Tanada dari Waseda University yang membawakan materi tentang komunitas islam di Jepang.
Berikut ini adalah tahapan dalam pendirian masjid Fukuoka.

  • 1998: KUMSA (Kyushu University Muslim Student association) mengawali ide proyek pembangunan masjid.
  • 1998 – 2005: Pengumpulan dana. Dana dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk dari para mahasiswa dan bantuan dana dari Uni Emirat Arab. Tahap awal adalah pembelian tanah seluas 336 meter persegi seharga 15 juta yen. Dari jumlah itu mahasiswa berhasil mengumpulkan dana 5 juta yen.
  • 26 September 2005: pembayaran pembelian tanah yang terletak dekat dengan Stasiun Hakozaki.
  • Januari 2008: tahapan desain masjid yang dikerjakan oleh seorang arsitek Jepang.
  • April 2008: Penandatanganan kontrak untuk proses pembangunan masjid.
  • Juni 2008 – Februari 2009: masa pembangunan masjid empat lantai (termasuk basement) dengan total luas lantai 672 meter persegi.
  • 20 Maret 2009: sholat jamaah dan sholat Jumat pertama di masjid
  • 12 April 2009: peresmian masjid.

peresmian-masjid-fukuoka

Sejarah menunjukkan bahwa Abdul Halim Afandi Osotara Noda adalah orang Jepang pertama yang memeluk agama Islam pada usia 25 tahun di tahun 1891. Pada waktu itu, Abdul Halim yang bernama asli Osotaro Noda ditugaskan oleh surat kabar Yeiji untuk menjadi koresponden di Istambul Turki. Begitu masuk Islam, Osotaro Noda kemudian berganti nama menjadi Abdul Halim. Masuknya Abdul Halim kedalam agama Islam setelah adanya dialog dengan Abdullah Ghullam Affandi, seorang tokoh muslim di Liverpool. Ketika Abdullah Ghullam Afandi datang ke Istambul, terjadi dialog diantara keduanya, dan salah satu topik yang dibahas adalah bahwa Islam adalah agama yang rasional dan logis yang menunjukkan ke jalan yang benar. Tempat pembai’atan dilaksanakan di sekolah militer Bangalty Istambul pada hari senin 29 Mei 1891.

Saat ini di Jepang ada sekitar 70 ribu penduduk muslim yang terdiri atas para imigran dan muallaf Jepang, di antara 120 juta penduduk mayoritas menganut kepercayaan Shinto dan Budha. Data terakhir menunjukkan bahwa 90 persen dari para muallaf Jepang ini adalah para muslimah. Dalam pidato khutbahnya pada tanggal 20 Maret 2009 yang lalu, Br. Ahmed Maeno menekankan peran penting para muslimah muallaf ini dalam pertumbuhan dan perkembangan islam di Jepang melalui jalur keluarga.

April 9, 2009

Pemilu Legislatif Indonesia 2009: aneh dan kacau

Filed under: Uncategorized — purnamabs @ 3:58 pm

pemilu-legislatif-2009-21Banyak keanehan terekam pada pemilu legislatif 2009 yang berlangsung serempak pada hari ini di Indonesia dan tempat pemungutan suara di luar negeri. Kelucuan dan keanehan telah dipertontonkan oleh para caleg untuk menarik simpati para pemilih, melalui berbagai cara kampanye yang asal beda, asal aneh dan asal-asalan. Bagaikan penjual obat di pasar, banyak diantara mereka yang dengan lantang mengucapkan janji-janji penyelesaian semua persoalan yang dihadapai masyarakat dan ibu pertiwi ini. Meskipun tidak jelas rakyat mana yang telah menunjuk mereka untuk menjadi wakil rakyat, dengan gagahnya mereka mengklaim mewakili suara rakyat dan akan menjadi dewa penyelamat untuk mengatasi permasalahan di masyarakat, serta membawa aspirasi suara rakyat.

Di luar kelucuan dan keanehan para caleg dalam menjual dirinya, ada satu lagi persoalan prinsip dalam pemilu ini, yaitu kekacauan basis data pemilih. Data pemilih fiktif, dobel nama pemilih, dan tidak tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) adalah realita dari kekacauan basis data ini. Sungguh sangat tidak masuk akal buat saya, seseorang yang secara resmi adalah penduduk suatu wilayah, tapi tidak tercatat sebagai pemilih. Atau, seorang kepala keluarga tidak tercatat sebagai pemilih, sementara anggota keluarga yang lain masuk dalam daftar.

Reaksi spontan saya melihat realita ini adalah: “Kapan ya Indonesia bisa maju….? Kalau ngurusin daftar pemilih tetap saja tidak mampu, apa mungkin negeri ini mengejar negara-negara tetangga yang telah lebih dulu menuju ke arah sana? Kalau ngurusin pemilu saja gak bener, apa bisa pengelola negeri ini mampu mengurusin permasalahan di masyarakat yang begitu komplek?”

Jangan-jangan memang benar apa yang pernah dikatakan oleh Cak Nun, bahwa Indonesia adalah laksana negeri antah berantah. Negeri di mana segala macam keanehan bisa terjadi. Mulai dari korupsi yang kronis, pembunuhan berantai, kanibalisme, mutilasi, premanisme, bencana akibat kelalaian pengelola, dan segala macam keanehan yang tidak ditemui di Negara lain.

Kalau mekanisme pemilihan wakil rakyat saja tidak beres, apakah sistem ini mampu menghasilkan produk yang bener juga?
—————————————————–
Berikut realita kekacauan pemilu tahun ini yang sempat terekam:

Beberapa cerita dari milis:

Tadi juga ngobrol dg seorang mahasiswa UGM asal bantul. Dia mengatakan, di RT-nya dari 165 orang yg berhak memilih, hanya 25 orang yang masuk DPT. Malahan, ketua RT dan kepala dusun juga tdkmasuk DPT. Juga, ada ketua KPPS yg tdk masuk DPT. Akhirnya, dia mengundurkan diri jadi ketua KPPS. Tadi, pagi di TV-One, juga ada telp dari jakarta, bahwa ketua KPPS-nya tdk terdaftar di DPT. Sebaliknya, ada anak umur 3 th masuk dlm DPT dan dapat undangan utk memilih. bener2 kacau nih pemilu 2009. Mungkin bakal ada yg demo karena merasa tdk diberi hak utk memilih.
————————————–
Di keluarga saya seharusnya hanya 3 suara, namun dapat formulir 4. Jadi untung. Ada yang mau beli suara keluarga saya sebanyak 4 buah. Dibeli Pak/Bu total 1 milyar rupiah saya berikan deh 4 suara tersebut terserah disuruh nyoblos apa. Satu milyar rupiah firm!
————————————–
Seluruh anggota keluargaku menerima undangan…hanya aku saja yg kepala keluarga nggak dapat (mungkin karena aku ketua RT?)…. Nampaknya pendataan pemilu kali ini payah…. bahkan PRT ku yg sdh hengkang dari rumahku 6 tahun lalu masih dapat undangan utk nyoblos (meski dia tidak masuk di daftar KK ku. Data di KPU itu asalnya dari mana ya?).
————————————–
Awalnya niatku akan Golput, soalnya gak ada calon yang kenal dan kualitas meragukan. Tapi karena tetangga sebelah rumah nyalon utk DPRD sleman, aku urungkan kegolputanku.
Wis kebacut semangat contreng, eh ternyata gak dapat undangan, padahal anak dan bojoku malah dapat undangan. Mungkin KPU “ngerti sak durunge winarah” bagi yang pernah punya niat golput gak usah dirikirimi undangan. Sakti juga KPU
—————————————
Sama nih kasusnya seperti ditempat saya. Menurut DPT ada 400 pemilih, tetapi faktanya jumlah pemilih ditempat saya cuma 100 orang, malah ada yang gak masuk padahal sudah punya KTP juga. Saya juga heran bagaimakah cara penyusunan DPT tersebut?
—————————————
Tadi ada info juga bahwa malahan ada caleg yg tdk ada namanya di DPT ..
He.. he.. bakal ada yg protes, karena dikira bhw massa pemilihnya tdk diberi hak utk memenangkan calegnya ..
—————————————-
Percakapan saya dengan teman di Jawa Timur:
Saya: dengar2 ada banyak keanehan ttg daftar pemilih tetap ya?
Teman: iyo… di tempatku banyak yg dobel…eee yg gak msk DPT jg banyak, pokoke puyeng suamiku lha wong jadi KPPS
Saya: Istriku gak dapat undangan. itu DPT yg menentukan siapa sih? datanya darimana?
Teman: dulu…tiap ketua RT dimintain data, trus dikirim ke desa dst ke atas; nah yg buat DPT itu KPU..,gak tahu level mana…kecamatan kah, pusat kah …gak tahu aku sendiri juga gak tahu. Lha kemarin pas daftar yg sementara dtg, banyak koreksian disuruh kirim yg kurang atau salah atau dobel, tp keluar daftar yg tetapnya gak berubah…sama juga boong deh

February 26, 2009

Bingkisan kuning

Filed under: Uncategorized — purnamabs @ 3:04 pm

bingkisan-kuningKemarin malam, sekitar pukul sembilan saya sampai di rumah setelah berjam-jam menghabiskan waktu di kampus, di lab sejak pagi. Lapar, capek, ngantuk menjadi satu. Seperti biasa, sesampai di rumah saya selalu mengecek mailbox di ujung tangga lantai dasar untuk melihat surat-surat yang datang pada hari itu. Biasanya gak ada surat yang saya terima karena komunikasi dengan kerabat dan rekan-rekan sudah diambil alih oleh fasilitas internet terutama email, chat, dan telpon. Kalau bukan surat tagihan listrik, air, gas, dan telepon, paling-paling hanya junk mails yang memenuhi mailbox setiap hari.

Begitu sepeda saya parkir di tempatnya, saya bergegas menghampiri mailbox. Dari balik mailbox, lewat celah lubang mailbox terlihat bingkisan semacam paket berwarna kuning. Bingkisan ini cukup besar sehingga tampak jelas terlihat dari lubang itu. Mailbox saya buka dan barang saya ambil. Betapa terkejutnya saya melihat bingkisan itu. Saya heran bukan kepalang dengan bingkisan yang baru saja saya terima itu, karena bingkisan itu adalah bingkisan yang saya kirim kemarin malam di Kantor Pos Pusat di Tenjin untuk sahabat saya di Tsukuba. Saya gak habis pikir kenapa bingkisan itu balik ke saya padahal kemarin malam petugas pos yang menerima sudah bilang: “daijobu desu”, alias “sudah ok”?.

Bingkisan berisi buku dan beberapa barang “spesial” yang dikirimkan oleh suaminya di Jogja khusus untuk istri tercintanya di Tsukuba Jepang itu saya terima tiga minggu yang lalu ketika saya sedang berlibur di Jogja. Sesuai skenario, barang tersebut saya kirimkan ke sahabat saya di Tsukuba dengan cara memasukkan barang tersebut ke dalam amplop besar yang telah ditulisi pengirim dan penerima, serta ditempeli perangko secukupnya. Amplop besar ini dikirim oleh sahabat saya ke rumah saya beberapa hari setelah saya tiba kembali di Fukuoka. Jadi tugas saya hanya memasukkan barang titipan ke dalam amplop besar tersebut, menutup dengan selotip, dan mengirimkan di kantor pos. Tapi kenapa kejadiannya jadi seperti ini….?

“He..he….dasar..ndeso tenan yo? He…he…lucu tenan..”. Itulah message yang dikirim sahabat saya begitu mengetahui apa yang telah terjadi. Asumsi sementara kesalahan kirim ini terjadi karena kesalahan meletakkan identitas pengirim dan tujuan, serta posisi perangko. Setelah saya tanyakan ke teman orang Jepang, dia bilang bahwa meskipun di atas identitas pengirim telah tertulis “From:” dan “To:” untuk tujuan, beberapa orang Jepang khususnya petugas pos masih kurang perhatian dengan itu. Dan… yang jelas tugas saya belum selesai sampai di sini karena si bingkisan kuning masih belum mau saya pulangkan ke si empunya…

January 26, 2009

Snowfall in Fukuoka

Filed under: Uncategorized — purnamabs @ 7:24 pm

snowrain-in-fukuoka1Buat mereka yang berasal dari daerah yang beriklim tropis, salju merupakan fenomena yang sangat menarik dan berdaya tarik tinggi. Mungkin karena alasan ini pulalah di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, dan kota-kota lain dibangun sarana bermain salju, yang dibuat di dalam ruangan tertutup menggunakan sistem pendingin raksasa. Dan ternyata nilai jual salju di wilayah tropis mampu mendatangkan keuntungan yang besar bagi pengelola tempat bermain salju yang diperoleh dari menjual tiket masuk dan menyewakan jaket, sepatu dan berbagai alat permainan.

Di wilayah subtropis seperti Fukuoka misalnya, yang terletak di 35 derajat lintang utara, salju masih juga merupakan fenomena yang istimewa. Meskipun Fukuoka memiliki empat musim, tetapi salju tetap saja tidak bisa dilihat setiap hari, meskipun di musim dingin. Mungkin bisa dihitung dengan jari, berapa kali hujan salju terjadi dalam setiap periode musim dingin.

Musim dingin tahun ini di Fukuoka bisa dibilang spesial. Persis seperti tahun 2008 yang lalu, tahun baru 2009 yang lalu ditandai dengan hujan salju tepat pada tanggal 1 Januari. Entah kebetulan atau tidak, yang jelas fenomena ini persis sama dengan tahun baru 2008 yang diguyur oleh hujan salju yang cukup lebat pada hari pertama awal tahun itu. Berbeda dengan musim dingin tahun 2008 lalu, musim dingin tahun ini relatif lebih dingin dan lebih banyak hujan salju. Air beku yang berbentuk seperti kapas berwarna putih yang sangat ringan itu telah beberapa kali dicurahkan dari langit, menyelimuti halaman dan jalanan bagaikan permadani putih bersih, menghasilkan pemandangan yang menakjubkan.

snowrain-in-fukuoka2Adalah sebuah keberuntungan buat saya dan teman-teman di sini karena hari Sabtu dan Minggu kemarin Fukuoka mendapatkan anugrah guyuran hujan salju yang cukup lebat. Bisa dibilang hujan salju kemarin adalah yang paling lebat dalam 30 tahun terakhir, menurut cerita orang Jepang yang sudah lanjut usia. Hujan salju dimulai sekitar pukul 14:00, beberapa menit setelah saya dan teman-teman sampai di rumah Martin untuk beristirahat selepas bermain bulutangkis dan makan “udong” di Jusco. Hujan salju yang disertai angin sangat kencang ini spontan membuat kami berhamburan keluar rumah untuk menikmati “the white beauty”. Hujan salju yang turun terus menerus hingga esok harinya ini telah mampu merubah kota Fukuoka yang semula terlihat kaku dengan dominasi warna tegas bangunan dan aspal jalanan, berubah menjadi pemandangan putih bersih eksotis di mana-mana. Pohon-pohon, rerumputan, jalanan, atap rumah, mobil, sepeda, semua tertutup oleh warna putih nan romatis. Dari balik jendela di dalam kamar saya di lantai 4, saya sempat termenung melihat pemandangan yang menakjubkan ini. Seorang saya yang sudah beberapa kali, mungkin sudah puluhan kali melihat pemandangan salju dan bahkan sempat mengalami hujan salju yang sangat menyiksa ketika di Melbourne beberapa tahun yang lalu, saat itu masih saja dibuat terkesima dan takjub oleh keindahan yang dihasilkan oleh warna putih; sebuah warna netral yang melambangkan kesucian, ketulusan dan kewibawaan. Mungkin inilah alasan mengapa warna putih merupakan warna dominan dalam islam, dan sering kali dipakai dalam acara-acara sakral seperti pernikahan, bahkan pemakaman orang yang meninggal dunia.

Salju, yang bagi mereka yang tinggal di wilayah yang selalu diselimuti benda ini sepanjang musim dingin merupakan benda yang menyengsarakan, menjadi benda yang sangat spesial buat mereka yang jarang melihat. Karena benda itu pulalah telah banyak memory komputer dialokasikan untuk menyimpan foto-foto kenangan bersama “the white beauty” ini. Pun telah berlembar-lembar foto dipajang di website untuk menunjukkan bahwa si “aku” telah pernah memegang dan merasakan “the real white beauty” di tanah yang memang oleh Tuhan diberikan anugrah keindahan si putih nan eksotis ini.

January 21, 2009

Pengambilan sumpah Obama, Presiden Amerika ke-44

Filed under: Uncategorized — purnamabs @ 6:44 pm

56543130Di tengah kritik dunia islam terhadap sikap politik Obama akan konflik di timur tengah, khususnya kasus perang Gaza, serta berita yang beredar yang menyatakan bahwa dia adalah seorang Yahudi, pengambilan sumpah Obama menjadi Presiden Amerika ke 44 pada Selasa, 20 Januari 2009 tetaplah menarik untuk disimak. Meskipun sempat mengalami kesulitan dalam mengucapkan kata-kata sumpah, pengabilan sumpah yang dihadiri lebih dari dua juta orang dan disaksikan jutaan pemirsa televisi dari berbagai belahan dunia termasuk Indonesia ini dapat diselesaikan hanya dalam waktu kurang dari 40 detik. Sejak saat itu, Amerika ada dalam genggaman Obama dan para pembantunya, yang akan menentukan arah kebijakan politik dunia untuk 4 tahun ke depan. Apakah dia akan mengakomodasi keinginan politik dunia islam khususnya berkaitan dengan konflik Arab-Israel, Afganistan dan Iraq? Rasa-rasanya keinginan ini akan sulit dipenuhi oleh seorang presiden Amerika berkulit hitam pertama ini mengingat kondisi dalam negerinya yang sedang mengalami resesi ekonomi, serta sikap politik luar negeri para pembantunya yang masih tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Akan tetapi, sesuai dengan janjinya untuk membawa misi “perubahan”, barangkali ada sedikit perubahan lebih baik dalam kebijakan politik luar negerinya untuk dunia islam. Kita lihat saja.

Berikut adalah pidato Obama:
——————————————

President Barack Obama’s inaugural speech

My fellow citizens:
I stand here today humbled by the task before us, grateful for the trust you have bestowed, mindful of the sacrifices borne by our ancestors. I thank President Bush for his service to our nation, as well as the generosity and cooperation he has shown throughout this transition.
Forty-four Americans have now taken the presidential oath. The words have been spoken during rising tides of prosperity and the still waters of peace. Yet, every so often the oath is taken amidst gathering clouds and raging storms. At these moments, America has carried on not simply because of the skill or vision of those in high office, but because We the People have remained faithful to the ideals of our forbearers, and true to our founding documents.
So it has been. So it must be with this generation of Americans.
That we are in the midst of crisis is now well understood. Our nation is at war, against a far-reaching network of violence and hatred. Our economy is badly weakened, a consequence of greed and irresponsibility on the part of some, but also our collective failure to make hard choices and prepare the nation for a new age. Homes have been lost; jobs shed; businesses shuttered. Our health care is too costly; our schools fail too many; and each day brings further evidence that the ways we use energy strengthen our adversaries and threaten our planet.
These are the indicators of crisis, subject to data and statistics. Less measurable but no less profound is a sapping of confidence across our land — a nagging fear that America’s decline is inevitable, and that the next generation must lower its sights.
Today I say to you that the challenges we face are real. They are serious and they are many. They will not be met easily or in a short span of time. But know this, America — they will be met.
On this day, we gather because we have chosen hope over fear, unity of purpose over conflict and discord.
On this day, we come to proclaim an end to the petty grievances and false promises, the recriminations and worn out dogmas, that for far too long have strangled our politics.
We remain a young nation, but in the words of scripture, the time has come to set aside childish things. The time has come to reaffirm our enduring spirit; to choose our better history; to carry forward that precious gift, that noble idea, passed on from generation to generation: the God-given promise that all are equal, all are free, and all deserve a chance to pursue their full measure of happiness.
In reaffirming the greatness of our nation, we understand that greatness is never a given. It must be earned. Our journey has never been one of short-cuts or settling for less. It has not been the path for the faint-hearted – for those who prefer leisure over work, or seek only the pleasures of riches and fame. Rather, it has been the risk-takers, the doers, the makers of things – some celebrated but more often men and women obscure in their labor, who have carried us up the long, rugged path towards prosperity and freedom.
For us, they packed up their few worldly possessions and traveled across oceans in search of a new life.
For us, they toiled in sweatshops and settled the West; endured the lash of the whip and plowed the hard earth.
For us, they fought and died, in places like Concord and Gettysburg; Normandy and Khe Sahn.
Time and again these men and women struggled and sacrificed and worked till their hands were raw so that we might live a better life. They saw America as bigger than the sum of our individual ambitions; greater than all the differences of birth or wealth or faction.
This is the journey we continue today. We remain the most prosperous, powerful nation on Earth. Our workers are no less productive than when this crisis began. Our minds are no less inventive, our goods and services no less needed than they were last week or last month or last year. Our capacity remains undiminished. But our time of standing pat, of protecting narrow interests and putting off unpleasant decisions — that time has surely passed. Starting today, we must pick ourselves up, dust ourselves off, and begin again the work of remaking America.
For everywhere we look, there is work to be done. The state of the economy calls for action, bold and swift, and we will act — not only to create new jobs, but to lay a new foundation for growth. We will build the roads and bridges, the electric grids and digital lines that feed our commerce and bind us together. We will restore science to its rightful place, and wield technology’s wonders to raise health care’s quality and lower its cost. We will harness the sun and the winds and the soil to fuel our cars and run our factories. And we will transform our schools and colleges and universities to meet the demands of a new age. All this we can do. And all this we will do.
Now, there are some who question the scale of our ambitions — who suggest that our system cannot tolerate too many big plans. Their memories are short. For they have forgotten what this country has already done; what free men and women can achieve when imagination is joined to common purpose, and necessity to courage.
What the cynics fail to understand is that the ground has shifted beneath them — that the stale political arguments that have consumed us for so long no longer apply. The question we ask today is not whether our government is too big or too small, but whether it works — whether it helps families find jobs at a decent wage, care they can afford, a retirement that is dignified. Where the answer is yes, we intend to move forward. Where the answer is no, programs will end. And those of us who manage the public’s dollars will be held to account — to spend wisely, reform bad habits, and do our business in the light of day — because only then can we restore the vital trust between a people and their government.
Nor is the question before us whether the market is a force for good or ill. Its power to generate wealth and expand freedom is unmatched, but this crisis has reminded us that without a watchful eye, the market can spin out of control — and that a nation cannot prosper long when it favors only the prosperous. The success of our economy has always depended not just on the size of our Gross Domestic Product, but on the reach of our prosperity; on our ability to extend opportunity to every willing heart — not out of charity, but because it is the surest route to our common good.
As for our common defense, we reject as false the choice between our safety and our ideals. Our Founding Fathers, faced with perils we can scarcely imagine, drafted a charter to assure the rule of law and the rights of man, a charter expanded by the blood of generations. Those ideals still light the world, and we will not give them up for expedience’s sake. And so to all other peoples and governments who are watching today, from the grandest capitals to the small village where my father was born: know that America is a friend of each nation and every man, woman, and child who seeks a future of peace and dignity, and that we are ready to lead once more.
Recall that earlier generations faced down fascism and communism not just with missiles and tanks, but with sturdy alliances and enduring convictions. They understood that our power alone cannot protect us, nor does it entitle us to do as we please. Instead, they knew that our power grows through its prudent use; our security emanates from the justness of our cause, the force of our example, the tempering qualities of humility and restraint.
We are the keepers of this legacy. Guided by these principles once more, we can meet those new threats that demand even greater effort — even greater cooperation and understanding between nations. We will begin to responsibly leave Iraq to its people, and forge a hard-earned peace in Afghanistan. With old friends and former foes, we will work tirelessly to lessen the nuclear threat, and roll back the specter of a warming planet. We will not apologize for our way of life, nor will we waver in its defense, and for those who seek to advance their aims by inducing terror and slaughtering innocents, we say to you now that our spirit is stronger and cannot be broken; you cannot outlast us, and we will defeat you.
For we know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We are a nation of Christians and Muslims, Jews and Hindus — and non-believers. We are shaped by every language and culture, drawn from every end of this Earth; and because we have tasted the bitter swill of civil war and segregation, and emerged from that dark chapter stronger and more united, we cannot help but believe that the old hatreds shall someday pass; that the lines of tribe shall soon dissolve; that as the world grows smaller, our common humanity shall reveal itself; and that America must play its role in ushering in a new era of peace.
To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and mutual respect. To those leaders around the globe who seek to sow conflict, or blame their society’s ills on the West — know that your people will judge you on what you can build, not what you destroy. To those who cling to power through corruption and deceit and the silencing of dissent, know that you are on the wrong side of history; but that we will extend a hand if you are willing to unclench your fist.
To the people of poor nations, we pledge to work alongside you to make your farms flourish and let clean waters flow; to nourish starved bodies and feed hungry minds. And to those nations like ours that enjoy relative plenty, we say we can no longer afford indifference to suffering outside our borders; nor can we consume the world’s resources without regard to effect. For the world has changed, and we must change with it.
As we consider the road that unfolds before us, we remember with humble gratitude those brave Americans who, at this very hour, patrol far-off deserts and distant mountains. They have something to tell us today, just as the fallen heroes who lie in Arlington whisper through the ages. We honor them not only because they are guardians of our liberty, but because they embody the spirit of service; a willingness to find meaning in something greater than themselves. And yet, at this moment — a moment that will define a generation — it is precisely this spirit that must inhabit us all.
For as much as government can do and must do, it is ultimately the faith and determination of the American people upon which this nation relies. It is the kindness to take in a stranger when the levees break, the selflessness of workers who would rather cut their hours than see a friend lose their job which sees us through our darkest hours. It is the firefighter’s courage to storm a stairway filled with smoke, but also a parent’s willingness to nurture a child, that finally decides our fate.
Our challenges may be new. The instruments with which we meet them may be new. But those values upon which our success depends — hard work and honesty, courage and fair play, tolerance and curiosity, loyalty and patriotism — these things are old. These things are true. They have been the quiet force of progress throughout our history. What is demanded then is a return to these truths. What is required of us now is a new era of responsibility — a recognition, on the part of every American, that we have duties to ourselves, our nation, and the world, duties that we do not grudgingly accept but rather seize gladly, firm in the knowledge that there is nothing so satisfying to the spirit, so defining of our character, than giving our all to a difficult task.
This is the price and the promise of citizenship.
This is the source of our confidence — the knowledge that God calls on us to shape an uncertain destiny.
This is the meaning of our liberty and our creed — why men and women and children of every race and every faith can join in celebration across this magnificent mall, and why a man whose father less than sixty years ago might not have been served at a local restaurant can now stand before you to take a most sacred oath.
So let us mark this day with remembrance, of who we are and how far we have traveled. In the year of America’s birth, in the coldest of months, a small band of patriots huddled by dying campfires on the shores of an icy river. The capital was abandoned. The enemy was advancing. The snow was stained with blood. At a moment when the outcome of our revolution was most in doubt, the father of our nation ordered these words be read to the people:
“Let it be told to the future world…that in the depth of winter, when nothing but hope and virtue could survive…that the city and the country, alarmed at one common danger, came forth to meet [it].”
America. In the face of our common dangers, in this winter of our hardship, let us remember these timeless words. With hope and virtue, let us brave once more the icy currents, and endure what storms may come. Let it be said by our children’s children that when we were tested we refused to let this journey end, that we did not turn back nor did we falter; and with eyes fixed on the horizon and God’s grace upon us, we carried forth that great gift of freedom and delivered it safely to future generations.

Source: Radio Netherland

January 20, 2009

Aksi solidaritas untuk Gaza

Filed under: Uncategorized — purnamabs @ 12:44 pm

kumsa-support-untuk-gazaSetiap individu yang masih memiliki rasa kemanusiaan pasti akan merasakan keprihatinan yang mendalam akan pertempuran yang berkecamuk di Gaza. Perang antara Israel dan Palestina yang dimulai tanggal 27 Desember tahun lalu ini telah mengusik nurani setiap manusia, tidak hanya muslim di dunia, tetapi siapapun yang masih memiliki kepekaan akan nilai-nilai kemanusiaan. Pembunuhan massal yang dilakukan Israel di Gaza menimbulkan perasaan sedih dan jengkel yang mendalam buat mereka yang masih memiliki rasa keadilan dan kemanusiaan, terlebih ketika dijumpai kenyataan bahwa bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) tidak mampu berbuat banyak untuk mengatasi tragedi kemanusiaan ini. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa negara-negara Arab yang semestinya memberikan dukungan lebih besar terhadap saudaranya di Palestina masih saja berselisih pendapat dan tidak mampu bersatu padu dalam mengatasi permasalahan ini.

Pagi itu pukul 10:30, hari Minggu 18 Januari 2009, dalam cuaca yang dingin menusuk kulit, ratusan pelajar dan simpatisan orang Jepang berbondong-bondong datang dari delapan arah mata angin di taman Accross Fukuoka. Mereka berkumpul di taman itu untuk selanjutnya menyebar di beberapa tempat strategis di Fukuoka untuk melakukan sebuah aksi. Pada hari itu, perasaan keprihatinan, kesedihan, kemarahan dan segudang perasaan kedukaan sebagai reaksi atas peperangan tidak seimbang di Gaza diluapkan oleh Perkumpulan Mahasiswa Muslim di Kyusu University (KUMSA) berasal dari Mesir, Indonesia, Palestina, Malaysia, Kamboja, Sri Langka, Vietnam, Bangladesh, bersama para aktivis kemanusiaan Jepang dalam bentuk aksi solidaritas. Aksi solidaritas terhadap penduduk di Gaza yang telah menjadi korban kebrutalan tentara Israel yang telah melampaui batas-batas kemanusiaan ini, diwujudkan dalam bentuk aksi damai  dengan tema: ”Silent Peaceful Protest on massacares in Gaza, Palestine and Donation Collection for the victims”.

Sungguh suatu pemandangan yang sangat mengharukan, bersatu padu bersama rekan-rekan yang berbeda ras dan agama menyerukan satu seruan: ”Hentikan peperangan! Hentikan pembunuhan! Ciptakan perdamaian di Palestina!”. Memang secara kuantitas, aksi protes ini tidak sebesar aksi-aksi protes di belahan dunia lain, seperti di Indonesia, Mesir, Inggris, dan gaungnya pun tidak akan terdengar sampai ujung dunia sana yang sedang dilanda konflik. Akan tetapi, aksi solidaritas ini setidaknya akan mampu menumbuhkan rasa kepedulian kita akan nilai-nilai kemanusian dan perdamaian, menumbuhkan semangat keadilan dan persatuan, dan meningkatkan semangat dan keyakinan empat saudara kita yang berasal dari Gaza yang saat ini sedang belajar di Fukuoaka, Saga dan Kumamoto. Pesan-pesan kemanusiaan, perdamaian dan keadilan ini pulalah yang ingin kita sampaikan kepada warga kota Fukuoka.

Memang, atas nama kemanusian, kebersamaan dan kesatuan dapat tercipta diantara kita tanpa melihat batas agama, seperti ditunjukkan oleh aksi solodaritas ini. Tetapi ketika nilai-nilai kemanusian dinodai oleh alasan politis, hanya perpecahan yang tersisa, seperti yang ditunjukkan oleh negara-negara Arab dalam menyikapi perang Gaza ini.

Foto-foto aksi solidaritas bisa diakses di sini.

Berikut adalah lagu dari Michael Heart khusus untuk Gaza.

WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza)
(Composed by Michael Heart); Copyright 2009

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

January 9, 2009

Universitas Gadjah Mada di tahun 1950-an

Filed under: Uncategorized — purnamabs @ 4:37 pm

ugm-di-keraton21Dalam lingkup nasional, UGM dipandang sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia. Pada akhir tahun 2006, UGM ditempatkan oleh THES (Times Higher Education Supplement) sebagai universitas berkelas dunia dalam tiga kategori sekaligus, yakni Ilmu-ilmu Sosial (peringkat 47), Budaya dan Humaniora (peringkat 70) dan Biomedik (peringkat 73). Prestasi UGM pada saat ini tidak terlepas dari perjuangan para pendiri dan pembangunnya di awal tahun 1950-an.

Menengok masa lalu, UGM di tahun-tahun awal berdirinya belum memiliki gedung sendiri. Kegiatan pembelajaran dilakukan di tempat yang terpisah-pisah di seputar lingkungan keraton Yogyakarta. Fasilitas kuliah dan praktikum masih sangat terbatas. Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi dan Farmasi, Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan berada di Ngasem. Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik bertempat di Pagelaran. Fakultas Sastra, Pedagogik dan Filsafat berada di Wijilan. Bahkan pada tahun 1953 Fakultas Tehnik UGM untuk kegiatan kuliah masih meminjam ruangan Sekolah Tehnik Menengah (STM) Jetis. Pada tahun itu Fakultas Tehnik menerima 337 mahasiswa baru. Pada saat perkuliahan, ruangan tidak dapat memuat mahasiswa sebanyak itu sehingga sebagian mahasiswa harus berdiri di luar ruangan, di depan jendela, untuk bisa mengikuti kuliah.

Di Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi dan Farmasi (ini nama satu fakultas, karena pada tahun 1953 Kedokteran Gigi dan Farmasi belum berdiri sebagai fakultas tersendiri), kegiatan perkuliahan lebih sulit lagi karena untuk kuliah ilmu kimia, fisika dan ilmu tumbuhan pesertanya tidak saja mahasiswa Fakultas Kedokteran tetapi juga Fakultas Pertanian dan Kehutanan serta Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan dengan jumlah mahasiswa 624 orang. Meskipun kuliah dilangsungkan di pendopo yang luas, mahasiswa harus berdesak-desakan untuk mendapatkan tempat. Untuk bisa mendengar suara dosen, mahasiswa tertolong dengan mikropon, tetapi mahasiswa yang duduk di bagian belakang mengalami kesulitan untuk bisa melihat tulisan dosen di papan tulis. Dengan kondisi perkuliahan seperti di atas, mahasiswa-mahasiswa yang ingin memperoleh tempat duduk di bagian depan harus datang pagi-pagi sekali. Bahkan ada mahasiswa yang datang sebelum pukul 06.00, padahal kuliah baru dimulai pukul 08.00.

Pada saat praktikum, mahasiswa yang jumlahnya 624 orang harus diatur dengan giliran 10 kali praktikum per hari, sehingga praktikum terakhir dalam satu hari bisa sampai pukul 23.00 malam. Problem yang dihadapi bukan hanya kekurangan ruang praktikum, tetapi juga alat-alat praktikum. Sebagian besar alat praktikum masih harus didatangkan dari luar negeri, dan proses pembeliannya sering memerlukan waktu lama. Selain itu masih ada problem tentang perlunya pengembangan rumah sakit pendidikan sehubungan dengan perkembangan Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi dan Farmasi (Laporan Tahunan UGM 1952/1953).

Fakultas terbesar pada tahun 1953/1954 adalah Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik (ini nama satu fakultas, sering disingkat dengan nama Fakultas HESP) dengan jumlah mahasiswa 3191, dengan rincian: Bagian Hukum 1572 mahasiswa, Bagian Ekonomi 614 mahasiswa, dan Sosial Politik 1005 mahasiswa. Dapat dibayangkan betapa rumitnya mengelola fakultas ini karena jumlah dosen yang tidak memadai. Sebagai gambaran, pada tahun 1952/1953 jumlah mahasiswa yang menempuh ujian 760 orang, sedangkan jumlah dosen hanya 19 orang. Pada saat itu UGM sangat gencar mencari tenaga dosen. Dalam salah satu usahanya juga menjalin hubungan dengan Bung Hatta (Wakil Presiden RI pada saat itu) dan beliau sangat peduli pada UGM, dengan mengirimkan buku-buku pelajaran ke Fakultas HESP, serta menyanggupkan diri untuk memberi kuliah pada fakultas itu (Laporan Tahunan UGM 1953/1954).

Para mahasiswa yang mengikuti kuliah di Pagelaran tidak merasa nyaman karena masing-masing ruang hanya dipisahkan oleh dinding yang sederhana, sehingga suara di ruang yang satu terdengar di ruang yang lain. Ada pula ruang kuliah yang terletak di sebelah kandang ayam dan seringkali sebelum kuliah dimulai para mahasiswa harus membersihkan kotoran ayam yang terdapat di meja, kursi dan lantai. Tempat kuliah dan praktikum yang terpencar jauh menambah kesulitan bagi mahasiswa karena sebagian besar mahasiswa harus berjalan kaki atau naik sepeda. Hanya beberapa gelintir mahasiswa yang mempunyai kendaraan bermotor. Belum ada angkutan umum yang menghubungkan beberapa kampus yang terpisah. Meskipun demikian, sejarah mencatat adanya kegairahan dan semangat belajar yang tinggi dari para mahasiswa. UGM berterimakasih dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada Sultan Hamengkubuwono IX yang jasanya begitu besar dalam membantu UGM sejak awal berdirinya (Dari Revolusi ke Reformasi, 1999).

Kondisi UGM pada awal tahun 1950-an sangat jauh berbeda dengan saat ini, dimana fakultas-fakultas telah mempunyai gedung sendiri, ruang-ruang kuliah ber-AC, fasilitas pembelajaran cukup dan memadai. Memperhatikan kilas balik UGM di tahun 1950-an yang penuh keprihatinan dan kesederhanaan, menunjukkan bahwa kecemerlangan UGM pada saat ini adalah hasil perjuangan yang luar biasa.

Sumber: Arsip UGM/Newsletter Edisi Mei 2008

December 29, 2008

UU Badan Hukum Pendidikan

Filed under: Uncategorized — purnamabs @ 12:23 pm

uu-badan-hukum-pendidikanDisyahkannya UU BHP telah menuai banyak kritik dan protes dari masyarakat, khususnya para mahasiswa di berbagai daerah. Dengan disyahkannya UU ini dikhawatirkan kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia tidak akan pro-rakyat lagi dengan meningkatnya biaya pendidikan dan semakin mendorong komersialisasi pendidikan tinggi.

Bantahan akan tuduhan miring masyarakat terhadap UU BHP dilontarkan oleh DPR dan pemerintah. Ketua Komisi X DPR membantah akan terjadinya kenaikan biaya pendidikan. Dia mengatakan bahwa justru biaya kuliah akan turun dengan UU yang baru ini. Sementara Menteri Pendidikan justru membantah bahwa UU BHP akan mendorong komersialisasi pendidikan tinggi.

Berikut berita terkait dari Republika.co.id

—————————–
DPR : Biaya Kuliah Turun

JAKARTA — Ketua Komisi X DPR yang membidangi pendidikan, Irwan Prayitno, menjamin biaya kuliah akan turun dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Mantan ketua Panitia Khusus RUU BHP ini menilai orang-orang yang memprotes belum membaca dan memahami UU BHP secara menyeluruh.

”Bagaimana biaya kuliah mahal kalau biaya investasi (uang masuk, uang pangkal, dan lain-lain–Red) ditanggung negara, dua pertiga biaya operasional ditanggung negara, dan ada klausul yang mengharuskan perguruan tinggi merekrut 20 persen mahasiswa miskin?” katanya kepada Republika di Jakarta, Senin (22/12).

Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, juga menilai banyaknya protes dan unjuk rasa karena belum tahu draf terakhir UU BHP. ”Saya duga, banyak yang belum tahu versi terakhir. Tidak benar RUU BHP yang disahkan 17 Desember melegalisasi komersialisasi pendidikan,” katanya di Yogyakarta, kemarin.

Bambang mengatakan UU BHP telah menegaskan bahwa BHP adalah institusi nirlaba. Jika ada kelebihan sisa hasil usaha (SHU), dikembalikan ke institusi pendidikan untuk meningkatkan mutu atau kapasitas pelayanan pendidikan. ”Yang memperkaya diri sendiri akan dikenai hukuman pidana lima tahun dan denda Rp 500 juta.”

Tapi, Bambang mempersilakan bila memang UU itu tetap didemo atau diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). ”Silakan,” katanya. Demonstrasi menolak UU BHP sampai kemarin masih terjadi di berbagai daerah antara lain di Malang, Surabaya, Semarang, dan Nanggroe Aceh Darussalam.

Turunnya biaya kuliah ke depan, kata Irwan, dapat digambarkan dengan rumus: SPP BHP = SPP BHMN/sekarang – dana investasi – dana lain-lain – dua pertiga biaya operasional. Jika dulu biaya kuliah Rp 3 juta, dengan rumus itu, Irwan mengatakan, ”Akan dikurangi biaya investasi Rp 1 juta, sehingga tinggal Rp 2 juta. Kemudian, dikurangi biaya lain-lain Rp 500 ribu, sehingga tinggal Rp 1,5 juta. Lalu, dipotong biaya operasional dua pertiga dari Rp 1,5 juta itu. Jadi, tinggal Rp 500 yang nanti dibayar.”

Yang lebih menjamin UU BHP pro-orang miskin, kata Irwan, adalah adanya klausul yang mengharuskan perguruan tinggi merekrut 20 persen mahasiswa miskin dan langsung diberi beasiswa. ”Sekarang ini, total mahasiswa miskin di perguruan tinggi hanya lima persen dan saat masuk mereka harus sibuk cari beasiswa. Sekarang tidak lagi.”

Karena ketentuan-ketentuannya yang sudah sangat pro-poor itu, Irwan mengatakan fraksi-fraksi di DPR bulat menyetujui RUU BHP untuk disahkan menjadi UU. ”Kalau membaca draf awal pemerintah, memang mengandung banyak unsur komersial. Tapi, saat sampai di DPR, banyak yang kita delete,” katanya.

Setelah kebutuhan anggaran di-exercise dengan dana pendidikan Rp 200 triliun di APBN, Irwan mengatakan SPP di sekitar 50 perguruan tinggi yang totalnya Rp 5 triliun, bisa ditutupi. Sebenarnya, kata Irwan, bisa saja pendidikan tinggi digratiskan. Tapi, itu dinilai tidak adil. ”Jadi, kita bikin yang mampu tetap bayar, yang miskin gratis.”

Kalangan yang membayar pun, kata Irwan, kelak bertingkat-tingkat, sesuai kemampuan. ”Bisa ada mahasiswa yang membayar Rp 100 ribu dan ada yang membayar Rp 10 juta,” katanya.

Selamat tahun baru Hijriyah 1430

Filed under: Uncategorized — purnamabs @ 12:06 pm

selamat-tahun-baru-hiriyah-1430

“Di dalam tahun baru hijriah ini selayaknya kita sebagai muslim yang taat, mengintrospeksi diri dengan semua apa-apa yang telah kita perbuat. Dan memilih semua bentuk amalan yang baik untuk tetap kita pertahankan dan kita tingkatkan porsi amalan yang baik untuk kita kerjakan. Dan meninggalkan semua perbuatan yang tidak bermanfaat, baik untuk diri kita ataupun orang sekitar kita” (Pesantren online)

Selamat tahun baru Hijriah 1430. Semoga keberkahan dan kebaikan menyertai kita di tahun mendatang. Amiin.

December 22, 2008

Antara hari ibu dan film “Changeling”

Filed under: Uncategorized — purnamabs @ 5:26 pm

changelingChristine Collins (diperankan oleh Angelina Jollie) adalah seorang single parent atas sorang anak laki-laki berusia 9 tahun bernama Walter Collins, tinggal di Los Ageles, USA. Meskipun menjadi seorang single parent, kedua ibu dan anak ini terlihat bahagia menjalani hari-hari mereka. Christine adalah seorang supervisor pada sebuah perusahaan telekomunkasi yang sedang berkembang pesat, sementara Walter adalah murid sekolah dasar.

Sudah menjadi kebiasaan bagi Walter ditinggal seorang diri di rumah oleh ibunya bekerja. Kebiasaan ini sudah berjalan beberapa waktu, dan tidak pernah ada masalah dengan pola aktivitas seperti ini. Dan hari itu, Maret 1928, seperti biasa karena libur sekolah Walter ditinggal di rumah oleh ibunya yang harus masuk shift kerja. Namun betapa paniknya Christine sore itu ketika sesampai di rumah tidak dijumpai anak semata wayangnya. Bayangan kebahagiaan bertemu dengan anaknya sepulang dari kerja yang melelahkan, telah berubah menjadi kepanikan dan bayang-bayang tragedi. Berbagai usaha telah dia lakukan untuk menemukan Walter. Namun usaha ini sia-sia belaka hingga akhirnya dia menyerah dan dengan berlinang air mata melaporkan kasus ini kepada polisi. Kepolisian Los Angeles yang pada era itu dikenal tidak adil dan korup menanggapi laporan Christine dengan datar dan arogan.

Beberapa bulan berlalu dan tidak ada informasi mengenai keberadaan Walter. Hingga akhirnya pada bulan Agustus 1928, polisi menelpon bahwa mereka telah menemukan Walter. Betapa gembiranya Christine mendengar berita itu. Berita inipun segera tersebar di seluruh kota. Penyambuatn kedatangan Walter sudah dipersiapkan, dihadiri oleh para wartawan. Dan setelah ditunggu beberapa saat, keretapun datang. Dengan bergegas dan tak sabar Christine menghampiri kereta yang masih berjalan pelan. Setelah kereta berhenti, dari dalam kerata keluar seorang anak laki-laki didampingi oleh petugas polisi perempuan. Namun wajah Christine berubah seketika, karena ternyata anak laki-laki itu bukanlah Walter anaknya. Namun anehnya anak kecil itu mengaku bahwa dia adalah Walter dan Christine adalah ibunya. Dalam kondisi seperti ini, Christien diancam dan dipaksa oleh polisi untuk mengakui bahwa anak itu adalah Walter.

Seminggu sudah Christine dipaksa untuk mengakui anak lelaki yang bukan anaknya sendiri. Beberapa kali dia berusaha membantah itu, tapi polisi tetap bersikukuh bahwa anak itu adalah Walter. Berbagai carapun dilakukan oleh polisi agar Christine mengakui bahwa anak itu adalah anaknya, yaitu dengan tuduhan mengalami gangguan mental dan membahayakan masyarakat. Sehingga ujungnya dia dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Di sinipun intimidasi terus dilakukan, dengan berbagai penyiksaan. Salah satu syarat agar dia dinyatakan sehat dan keluar dari rumah sakit jiwa adalah apabila dia mau menandatangi pernyataan bahwa anak kecil yang telah ditemukan polisi adalah Walter, anaknya. Namun Christine tetap saja menolak menandatangai surat itu. Alasannya sederhana. Kalau dia menandatangi surat itu, berarti anak kecil itu ditetapkan sebagai Walter. Konsekuensinya pihak polisi tidak akan melanjutkan proses pencarian Walter yang hilang.

Seiring dengan berjalannya waktu lambat laun tragedi hilangnya Walter mulai menunjukkan titik terang dengan ditemukannya tersangka pembunuh anak-anak. Dia didakwa telah membunuh sekitar dua puluh anak-anak. Namun sampai dua tahun kemudian, dengan meninggalnya si penjagal anak-anak di tiang gantungan, informasi apakah Walter adalah salah satu dari korban pembunuhan tetaplah tidak jelas.

Siang itu, lima tahun sejak menghilangnya Walter dari pelukan Christine, Christine mendapat mendapat telpon yang mengabarkan bahwa polisi telah menemukan seorang anak laki-laki yang berhasil lolos dari penyekapan pembunuh anak beberapa tahun yang lalu. Dengan antusias Christine mendatangi kantor polisi, dan mendengarkan proses interogasi polisi terhadap anak itu. Dari interogasi itu terbukti bahwa anak itu adalah salah seorang yang berhasil lolos dari pembunuhan, tetapi dia bukanlah Walter anaknya.

Christine, mantan seorang seorang single parent tetap tegar menghadapi kenyataan bahwa nasib anaknya belum diketahui. Sebagai seorang ibu, dia tetap punya semangat untuk terus mencari Walter dan masih terus berharap bahwa Walter masih hidup di suatu tempat dan suatu hari mereka akan dipertemukan kembali.
——
Film yang diangkat dari kisah nyata ini, meskipun tidak pas sekali, dapat menggambarkan beratnya seorang single parent dalam membesarkan buah hatinya, dengan berbagai tantangan dan cobaan yang harus dihadapi. Perjuangan, tanggung jawab, cinta kasih, dan perhatian yang dicurahkan seorang ibu kepada anaknya sungguh tidak ternilai. Tidak ada cinta kasih yang murni selain cinta seorang ibu kepada anaknya.

Selamat hari ibu untuk ibuku. Selamat hari ibu untuk istriku, ibu anak-anakku yang saat ini sedang menjadi single parent.

Next Page »

Create a free website or blog at WordPress.com.